Wednesday, February 10, 2016
Hari ini aku dibuat terpana oleh maraknya pemberitaan tentang komunitas LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Questioning) yang sedang berusaha keras melegalkan keberadaan mereka di Indonesia. Dan yang lebih membuat shock adalah sekarang sudah ada (ada yang tersedia sejak lama tanpa kita sadari) emoticon dan stiker mereka di media sosial (medsos) dan media komunikasi (medkom) online seperti LINE messenger, BlackBerry Messenger, Facebook, dan WhatsApp. Whaatt??? Miris banget bacanya, feels like the world is going crazy now. Teringat bahwa mayoritas anak anak usia sekolah pada era sekarang adalah pengguna aktif ketiga medkom dan medsos tersebut. Pikiranku langsung tertuju pada mbak Riri, dia adalah pengguna aktif LINE messenger bila berkomunikasi dengan teman temannya.
Perkembangan teknologi yang demikian pesatnya, membuat aku cukup ketar ketir kuatir juga. Bagaimana tidak, segala informasi tentang hal apapun dapat diperoleh dengan mudah, termasuk konten pornografi yang bisa tiba tiba saja muncul tanpa diundang, hanya dengan bermodalkan gadget dan wifi. Wifi, gadget canggih, dan TV berbayar, lengkaplah sudah sarana untuk berselancar di dunia yang tiada berbatas. (Huft..!!) Kekuatiran menyeret alam sadarku untuk sedikit mengulang sex education kepada mbak Riri pagi ini. Honestly, hal ini sudah mulai kulakukan sejak ia duduk di bangku TK dan awal SD, ya, aku merasa harus memagarinya. Aku mencoba menjelaskan dalam bahasa yang sederhana, bahwa laki laki dan perempuan itu berbeda, bahwa ia harus menjaga daerah sensitif di tubuhnya yang tertutup oleh baju renang biasa (antara bahu ke bawah dan lutut ke atas); Tidak boleh disentuh, dilihat, dan dipegang oleh orang lain selain ibunya. Sampai kemudian aku dan sekolahnya mengenalkan tentang konsep muhrim dalam Islam.
Berbicara tentang LGBTIQ dan pornografi, aku jadi teringat Ibu Elly Risman, seorang psikolog perempuan Indonesia yang fokus pada parenting dan pendidikan anak. Aku pertama kali mendengar istilah LGBTIQ dan cerita tentang komunitas ini dari beliau di salah satu seminarnya. Kala itu, akhir Oktober 2015, Ecy, salah satu sahabatku, menawariku untuk mengikuti seminar beliau, "Cara Jitu Berdialog dengan Anak Masa Kini." Inilah titik awal aku mulai tertarik untuk mengikuti seminar seminar beliau, dan mulai keranjingan belajar dan belajar untuk menjadi orang tua yang lebih baik lagi. Belajar??? Yup, walaupun sudah sangat terlambat dan masih banyak kekurangan sih, tetapi untuk suatu perubahan menuju ke arah yang lebih baik, demi untuk kebaikan dan kebahagiaan bersama, why not??
Perkembangan teknologi yang demikian pesatnya, membuat aku cukup ketar ketir kuatir juga. Bagaimana tidak, segala informasi tentang hal apapun dapat diperoleh dengan mudah, termasuk konten pornografi yang bisa tiba tiba saja muncul tanpa diundang, hanya dengan bermodalkan gadget dan wifi. Wifi, gadget canggih, dan TV berbayar, lengkaplah sudah sarana untuk berselancar di dunia yang tiada berbatas. (Huft..!!) Kekuatiran menyeret alam sadarku untuk sedikit mengulang sex education kepada mbak Riri pagi ini. Honestly, hal ini sudah mulai kulakukan sejak ia duduk di bangku TK dan awal SD, ya, aku merasa harus memagarinya. Aku mencoba menjelaskan dalam bahasa yang sederhana, bahwa laki laki dan perempuan itu berbeda, bahwa ia harus menjaga daerah sensitif di tubuhnya yang tertutup oleh baju renang biasa (antara bahu ke bawah dan lutut ke atas); Tidak boleh disentuh, dilihat, dan dipegang oleh orang lain selain ibunya. Sampai kemudian aku dan sekolahnya mengenalkan tentang konsep muhrim dalam Islam.
Berbicara tentang LGBTIQ dan pornografi, aku jadi teringat Ibu Elly Risman, seorang psikolog perempuan Indonesia yang fokus pada parenting dan pendidikan anak. Aku pertama kali mendengar istilah LGBTIQ dan cerita tentang komunitas ini dari beliau di salah satu seminarnya. Kala itu, akhir Oktober 2015, Ecy, salah satu sahabatku, menawariku untuk mengikuti seminar beliau, "Cara Jitu Berdialog dengan Anak Masa Kini." Inilah titik awal aku mulai tertarik untuk mengikuti seminar seminar beliau, dan mulai keranjingan belajar dan belajar untuk menjadi orang tua yang lebih baik lagi. Belajar??? Yup, walaupun sudah sangat terlambat dan masih banyak kekurangan sih, tetapi untuk suatu perubahan menuju ke arah yang lebih baik, demi untuk kebaikan dan kebahagiaan bersama, why not??
Ada beberapa perkataan Ibu Elly Risman yang benar benar sangat menamparku di salah satu seminarnya. "Anak adalah amanah, titipan dari Allah untuk kita. Anak diberikan kepada kita dalam kondisi yang suci, murni, bersih seperti kertas putih. Apakah kita akan memenuhi kertas itu dengan gambar dan warna warna yang indah; ataukah kita akan mengisinya dengan gambar benang kusut berwarna hitam suram? Jangan sampai kita kembalikan anak kita kepada-Nya dalam keadaan bobrok atau hancur kondisinya." Plak Plak Plak!!! Rasanya seperti ditampar beribu kali atau dilempar dari tebing yang tinggi dan curam, sampai di bawah terbentur batu dan kejatuhan kotoran burung (Kok kotoran burung sih?? Hahaa..)
Sungguh, Beliau membuatku merenung. Aku belum sesempurna yang beliau paparkan di seminarnya. Aku akui, mungkin memang di beberapa hal tertentu aku terlalu talkative, terlalu membebani anak dengan inner child ku dulu, terlalu banyak tetek bengek aturan ini itu.. Maafkan Bunda ya, Nak!! Tapi kan maksudnya baik. (Heheee..) Beberapa kali aku mencoba menumpahkan pikiran pikiranku kepada mas Ian, juga tentang semua hal yang disampaikan Ibu Elly Risman; Apa sebenarnya tujuan kita sebagai orang tua dalam membesarkan anak, nantinya kita mau membentuk anak kita menjadi manusia seperti apa di masa depannya.
Ada beberapa hal penting dalam keseharianku sekarang ini yang coba ku lakukan mengacu pada jurus jurus parenting Ibu Elly Risman, yaitu (my own conclusion, based on Ibu Elly Risman's seminar):
1. Mencoba memahami dan mengendalikan inner child kita, sebagai orang tua, yang sekiranya akan membebani anak.
2. Mencoba untuk selalu menggunakan kata dan bahasa
yang baik, positif, dan menurunkan frekuensi suara ketika berbicara dengan anak, ketika berkomunikasi dengan anak;
· Mencoba menghindari
kalimat dengan awalan kata "jangan."
3. Mencoba melihat bahasa tubuh anak dan menebak
perasaan anak, sehingga ia terpancing untuk mengungkapkan apa perasaannya pada saat
itu; Dan di sisi lain kita sebagai orang tua mencoba menjadi pendengar
aktifnya.
4. Mencoba untuk menghindari gaya mencap / melabeli
anak dengan sebutan tertentu (yang bersifat negatif), membandingkan,
membohongi, mengancam, menyalahkan, memerintah, ataupun meremehkan anak.
5. Mencoba untuk tidak bicara dengan tergesa gesa
bila berbicara dengan anak, dengan maksimal 15 kata yang digunakan ketika kita
sebagai orang tua sedang berbicara.
6. Mencoba memahami bahwa setiap individu adalah
pribadi yang unik; Pribadi anak adalah unik, berbeda dengan ibunya, berbeda
dengan ayahnya, dan berbeda dengan anak lainnya. Ia mempunyai kelebihan dan
kekurangan yang semuanya harus dihargai.
· Memahami keunikan anak
berarti harus memahami juga bahwa kebutuhan setiap anak berbeda, sehingga berdampak
pada penanganan untuk setiap anak pun berbeda (komunikasi, penghargaan, dan
disiplin). Aturan harus dibuat berdasarkan kesepakatan bersama antara orangtua
dan anak.
7. Mencoba membuat anak belajar berpikir sendiri
bila ada masalah karena kelalaiannya sendiri, membiarkannya mencari solusi,
memilih dan memutuskan alternatif solusi yang terbaik untuknya, serta siap
menerima konsekuensi atas kelalaiannya tersebut; Sehingga perlahan ia bisa
mandiri dan bertanggung jawab atas pilihannya itu. Misalnya kelupaan membawa PR
yang sudah dikerjakannya di rumah, mempunyai konflik dengan teman, dan lain
lain.
- Mencoba bekerja
sama memikirkan masalah bersama, mencari solusi, memutuskan bersama, bila
masalah itu berkaitan dengan kita sebagai orang tuanya.
- Mengajak anak berbicara panjang
lebar tentang bahaya pornografi yang bisa menyebabkan perubahan struktur dan
fungsi otak / kerusakan
otak (di atas alis kanan manusia);
· Bahaya pornografi itu
bisa datang dari hal hal yang sudah sangat familiar dengan anak sehari hari,
misalnya dari gadget yang biasa ia gunakan sehari hari; browsing dari HP dan laptop, games di HP dan laptop, tontonan di TV (sinetron, film, video klip musik, iklan), film
bioskop, buku komik, komik online, novel, medsos, medkom online; dimana di dalam semua itu banyak hal yang bukan
diperuntukkan untuk anak anak dan tidak baik untuk anak anak, seperti kekerasan fisik,
perkataan kasar, pakaian minim kain, adegan romantisme orang dewasa.
· Bagian yang paling rusak adalah prefrontal cortex (PFC), di bagian ini nilai-nilai moral, rasa tanggung jawab, dan emosi diolah. Bila mengalami kerusakan maka anak tidak bisa membuat perencanaan, tidak bisa mengendalikan hawa nafsu dan emosi, serta tidak bisa mengambil keputusan dan berbagai peran eksekutif otak sebagai pengendali impuls-impuls; Kerusakan ini menimbulkan perbuatan berulang – ulang terhadap pemuasan seksual. Bagian inilah yang membedakan antara manusia dan binatang.
· Kerusakan
otak bagian depan atau prefrontal
cortex sama dengan korban kecelakaan lalu lintas yang mengalami
cedera otak. Hasil MRI-nya bahkan tampak sama!!
· Adiksi
(kecanduan) pornografi pada anak tidak terlepas dari bisnis pornografi yang
memang menyasar anak-anak sebagai target pasar. Anak
laki-laki menjadi target utama industri pornografi, usia kelas 4-5-6 (anak yang
belum baligh). Bahkan
lebih spesifik lagi adalah anak laki-laki belum baligh dengan kriteria cerdas,
beragama, dan peka.
· Mengapa sedini mungkin dijadikan
target? Tujuannya agar anak anak tersebut menjadi target masa depan pasar bisnis pornografi. Sehingga akhirnya akan menjadi pecandu pornografi seumur hidup. Perangkap yang
diberikan bermacam-macam. Misalnya, pada awalnya akan diberikan secara gratis, lama-kelamaan mereka harus membayarnya. "Persis seperti menjual narkoba. Mencicipi dulu sedikit, setelah ketagihan, pasti si anak akan mencari.”
· Jangan membiarkan anak hidup sendiri
dalam era digital tanpa bimbingan, jika hal ini dibiarkan, maka akan merusak
psikis, fisik, dan moral anak. Adiksi pornografi pada anak yang dimulai sejak kecil akan
menyebabkan kerusakan otak permanen.
10. Selalu berusaha menanyakan dan mengecek kegiatan
anak setiap hari; memeriksa dan
membatasi bacaan anak, tontonan TV dan bioskop, penggunaan HP, games anak, laptop, dan ipad; yang diperbolehkan adalah yang sesuai dengan
usia anak.
· Hal terbaik adalah mengajari anak untuk bijak berteknologi dengan memberikan aturan yang jelas tentang penggunaan gadget dan orang tua harus menjadi panutan yang baik; Bersikap konsisten dengan tidak membawa ponsel pada saat “No Gadget Time” atau bersikap konsisten dengan tidak membawa ponsel di ruang "No Gadget Room" misalnya di ruang makan atau di ruang keluarga.
11. Mengenalkan konsep harga diri yang baik pada
anak bahwa diri dan
tubuhnya sangat berharga, harus dijaga, dan tidak boleh disentuh sembarangan
oleh orang lain, termasuk penjelasan bahwa laki laki dan perempuan itu berbeda
serta konsep muhrim dalam Islam dan juga bagaimana seharusnya hubungan antara laki
laki dan perempuan yang bukan muhrim.
12. Mencoba meluangkan waktu untuk turun tangan sendiri dalam mengurus kebutuhan dan mendampingi anak walaupun menjadi ayah dan ibu pekerja;
· Tidak
100% mensubkontrakkan pengasuhan anak pada asisten rumah tangga, ibu kita, sekolah, dan tontonan TV;
· Misalnya membuatkan
sarapan pagi, menyiapkan bekal sekolah, menemani sarapan di meja makan sambil
mengobrol, memasakkan makanan kesukaan anak, menemani belajar, menemani belanja kebutuhan sekolah, memberikan
pujian, memeluk, dan mencium ketika anak melakukan hal hal baik, mendampingi
saat menonton tv, rekreasi keluarga, dan lain lain.
Hal ini sangat penting agar anak merasa bahwa mereka dianggap ada, bernilai, merasa disayang, merasa diperhatikan, merasa didukung; sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Hal ini sangat penting agar anak merasa bahwa mereka dianggap ada, bernilai, merasa disayang, merasa diperhatikan, merasa didukung; sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
13. Harus memahami bahwa kesalahan komunikasi orang
tua kepada anak (Bicara terlalu cepat; Bicara terlalu banyak; Bicara yang tidak
perlu / mengomel; Tanpa sadar berbohong, mengkritik, menggurui, dan lain lain)
mengakibatkan anak jadi BLAST (Boring, Lonely, Angry, Afraid, Stress, Tired)
dimana jiwanya menjadi kosong, tidak percaya diri, pemarah, dendam kepada orang
tuanya sendiri. Anak-anak yang BLAST ini adalah sasaran empuk bagi pengusaha
pornografi karena rata-rata dari mereka pasti akan mencari pelampiasan.
14.Memberikan pendidikan agama pada anak untuk membentenginya dari hal hal yang
tidak baik dari dunia luar.
15. Tanggung jawab pengasuhan
anak adalah tanggung jawab berdua, ayah dan ibu, bukan hanya ibu. Anak
laki laki yang kurang perhatian dan kasih sayang ayah cenderung menjadi nakal
dan agresif, jika salah pergaulan akan terjerumus dalam narkoba dan sex bebas. Sedangkan anak perempuan yang kurang perhatian dan kasih sayang ayah cenderung depresi,
jika salah pergaulan akan terjerumus dalam sex bebas.
Ada beberapa link Ibu Elly Risman tentang parenting yang sangat bagus untuk dicerna dan diambil nilai nilai positifnya, yaitu sebagai berikut:
- Memperbaiki Pola pengasuhan Anak - http://youtu.be/z1Zturue5NA
- Mendidik Anak Cerdas Mengendalikan Diri - http://youtu.be/I2MMgDLdrhw
- Membangun Rasa Berharga dalam Diri anak - http://youtu.be/9vbdUMJv96s
- Disiplin dengan Kasih Sayang - http://youtu.be/hlDa0zPEjds
- Peran Media dalam Membangun Karakter Anak - http://youtu.be/BE2qTwj5yRM
- Ancaman Bencana Pornografi - http://youtu.be/Bsx4Pnvv23Q
- Peran Orang Tua dalam Pendidikan Seks Anak - http://youtu.be/q9jQKit25fc
Anak-anak kita merupakan karunia Allah SWT, harus disyukuri, dididik dan dirawat dengan sepenuh hati, lembut, dan penuh kasih. Bismillah, semoga kita semua selalu dituntun-Nya untuk selalu sabar dan kuat dalam mendidik dan mendampingi anak anak kita menjadi pribadi yang tangguh, berakhlak mulia, dan penuh kasih. Amiinn..