September, 2020
Cinta terpaku menatap senja. Senja yang selalu menjanjikan keindahan sesaat,
tapi selalu mampu menjadi pelabuhan terakhirnya, setiap harinya. Senja, tempat
ia melebur sgala rasa hatinya setelah seharian berbaur dengan berbagai
frekuensi cerita kehidupan.
“Pada akhirnya memang sengaja kubiarkan mereka untuk lebih peka dan peduli
dengan kehidupan Rangga,” Cinta memulai obrolannya dengan senja. “Maafkan aku,
Senja. Sudah saatnya mereka masuk dan menyelami Rangga sebagai seuntai pribadi
utuh dengan segala permasalahan pribadi dan hidupnya.”
Cinta berdiri sesaat, menghirup sejuknya angin senja. “Kamu lelah, Cinta?”,
bisik angin perlahan. Cinta menarik nafas perlahan dan berkata: “Aku hanya
sedih melihat Rangga. Rangga, selama belasan tahun, menjadi pejuang kehidupan
sejati, tanpa lelah, tanpa pamrih. Rangga, pejantan tangguh yang selalu menjadi
pelabuhan, tumpuan segala keluh kesah hidup banyak orang. Padahal kenyataannya,
sebaliknya, mereka itu sangat egosentrik, satupun tak mengindahkan Rangga,
apapun kehidupan pribadi Rangga.”
“Lalu Rangga bagaimana, Cinta?”, bertanya Senja. Cinta terpaku pilu &
berkata, “Entahlah. Kemarin ia sempat goyah pada titik terendahnya, mencoba
meresapi arti hidup sebenarnya. Terombang ambing antara ada dan tiada. Pandemi
ini menggoyahkannya, meluluhlantakkan egonya.” Cinta melanjutkan dengan seiris
senyum, “Beruntung Tuhan masih menggenggam tangannya, bahkan tak enggan
mengulurkan tangan - Nya, menata kembali kepercayaan Rangga, juga menata
hidupnya.”
Angin menerpa halus wajah Cinta. Senja tersenyum tipis, memamerkan siluet
jingga kebesarannya. Dan Senja pun perlahan beranjak pergi.