May, 2019
Berawal dari ungkapan keinginan Mbak Riri sebulan yang lalu: “Bun, aku awal puasa di rumah, ya. Aku gak mau puasa makan makanan asrama. Aku mau makan masakan Bunda.” Honestly, speechless for a while. Terharu mendengarnya, dia benar benar mendambakan masakan ibunya. And at the end, ayahnya pun mengijinkan Mbak Riri pulang di awal puasa.
Suatu saat nanti, ketika kita jauh dari rumah, seiring berputarnya waktu, kita akan semakin menyadari bahwa ayah bunda, dan rumah dengan segala perintilan perintilannya akan menjadi hal yang paling dirindukan. Terharu, sangat terharu dengan kepulangannya kali ini. Aku mengamati, selama di rumah, apapun yang dilakukan ayah bundanya, dia berusaha menghargai, berusaha menghormati dengan senyum. Padahal dulu bila sedikit saja ada hal yang tak sejalan dengannya, bibirnya langsung membentuk huruf O kecil yang meruncing di ujungnya. Gejala ini, aku lebih melihatnya sebagai wujud rasa syukurnya, rasa terima kasihnya atas segala apa yang telah diberikan-Nya hampir setahun ini. Tinggal jauh dari orang tua ada gunanya juga, Mbak Riri (sedikit demi sedikit) mulai bertransformasi menjadi pribadi yang lebih dewasa, mengingat umurnya pun sudah menyentuh bilangan 17, April kemarin.
Sangat membahagiakan, ketika ia memintaku untuk memasak segala makanan kesukaannya. Aku pun dengan riang hati melakukannya, dan ia tak segan melahap semua makanan yang ku masak hingga ludes. Beberapa menu antri untuk dimasak setiap harinya, ah sampe segitunya ya. (Hahaaa..)
Hari pertama puasa, sebagaimana umat Muslim lainnya, kami menyambutnya dengan suka cita, bulan yang penuh ampunan Allah. Ayah dan anak kali ini meminta menu sahur yang sama, satu menu berkuah favorit mereka berdua. Gak neko neko dan gak ribet juga sih, bakso bersama dengan pelengkapnya. Alhamdulillah, karena pada kenyataannya lidah mereka tak pernah bisa bertemu di satu panci. Biasanya aku harus memasakkan minimal 3-4 menu untuk menyelaraskan lidah mereka. Dan taukah kau, aku tak punya asisten rumah tangga, kebayang kan bagaimana prosesnya. Itulah sebabnya untuk urusan masak memasak, aku tak mau kompromi, harus sesimpel mungkin, agar aku enjoy melakukannya. Aku membutuhkan 3-4 tungku kompor dan alat alat canggih lain untuk memudahkan prosesnya.
Selesai sahur, sholat Shubuh berjama’ah di rumah. Topik utama obrolan hari itu hanya 1, menu buka puasa, apa dan dimana. Sang ayah mengusulkan untuk berbuka di luar, di restoran favorit kami. Sedangkan aku memilih untuk di rumah saja, aku ingin menikmati kebersamaan ini di rumah. Aku bersedia memasakkan apa aja, dan sang anak yang memilihkan menunya. Alhasil, buka puasa pertama terlaksana di rumah. Masing masing mempunyai tugas, dari tahap pembelian bahan bahan, dan selanjutnya pemrosesan semua bahan menjadi siap santap. Semua bahan diproses di rumah hingga akhirnya lengkap terhidang di meja makan. Mas Ian bertugas menyiapkan minuman segar pembuka, Mbak Riri menyiapkan makanan takjil, dan aku menyiapkan menu utama yang dimakan setelah sholat Magrib. Bahagia sekali rasanya hari itu, aku seakan merasakannya mengalir lembut dari ujung rambut hingga ujung kaki. Senyumku terus mengembang hari itu.
Alhamdulillah..
Allah bless us, always.