3/24/2017

BECAUSE ALLAH NEVER SLEEPS; A Little Note for Reminding MySelf


Friday, March 24th, 2017

January 2017, bulan pertama di tahun 2017, aku membuka lembaran yang benar benar baru dalam hidupku. Awal tahun yang memberikan aliran energi positif dan harapan baru di keluarga kecilku. Selalu ada bulan, bintang, dan matahari sesudahnya, dibalik malam yang pekat. Selalu ada pelangi sesudahnya, dibalik titik titik air yang turun dari langit. Selalu terbit terang sesudah gelap melanda, melahirkan rasa syukur yang tiada terputus karenanya. Enam tahun bukan waktu yang singkat untuk ditempa Allah SWT, sehingga bisa naik kelas, dan alhamdulillah aku, mas Ian, dan mbak Riri berhasil melaluinya. Yes, we did it!!

Kisah bermula ketika di tengah tahun 2010, aku, mas Ian, dan mbak Riri dengan ditemani 2 orang sepupu mas Ian dari Jakarta, menghabiskan liburan di suatu villa di daerah Batu, Malang, Jawa Timur. Sepulang dari Batu, Malang, Jawa Timur, dalam perjalanan menuju Surabaya (saat itu aku masih menetap di Surabaya), mbak Riri tertidur pulas. Di tengah tidurnya itu tiba tiba terjadi gerakan di area sekitar mulut dan pipi kirinya, seperti gerakan mulut yang tertarik ke arah pipi, dalam keadaan tidur dan dalam hitungan beberapa detik saja. Aku terkejut dan langsung membangunkannya, mbak Riri seperti tidak sadar dan tidak menyadari apa yang terjadi ketika aku bertanya apa yang terjadi padanya. 

Setelah itu keadaan kembali normal, mbak Riri kembali menjalani hari harinya seperti biasa. Sekitar 2 minggu kemudian, di suatu hari Minggu, mbak Riri kembali mengalami kejadian yang sama, juga dalam keadaan tidur dan dalam hitungan beberapa detik saja. Beruntung aku sedang berada di kamarnya, dan dengan segera aku bisa membangunkannya. Sama seperti kejadian pertama, kali ini pun Mbak Riri tetap tidak menyadari apa yang terjadi. Alarm di otakku langsung berdering, "There is something wrong in her, but i don't know what it is." Then I decided to go the hospital on the next day, met the doctor.

Pada akhirnya aku dan mas Ian membawa mbak Riri ke dokter, dokter spesialis syaraf, untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Serangkaian tes dilakukan termasuk EEG dan City Scan. Hasilnya menunjukkan bahwa ada virus di otak mbak Riri, dan virus ini menyebabkan volume otak kirinya tidak sama dengan volume otak kanannya!!! 

Astagfirullaahh hal 'adziimm.. Duaarr!!! Petir menggelegar di dada dan kepala ku sore itu, menjalar panas ke seluruh tubuh, dunia seakan berputar dan runtuh di tepat hadapanku!! Ya Rabb, lunglai hati dan seluruh tubuhku, terlempar raga ku ke lautan luas terdalam, dan kemudian terpuruk diam terkapar.. Mengapa ini bisa terjadi, Ya Rabb, mengapa ini harus terjadi? Mengapa??? Putri kecilku, anak kesayanganku, semata wayangku..



Usianya baru genap 8 tahun saat itu, sekecil itu dia harus menerima vonis dokter yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya, olehku, dan oleh ayahnya. Tidak ada riwayat jatuh parah semasa balita, riwayat imunisasi lengkap, tidak ada riwayat genetika keluarga. Lalu apa??? Kemungkinan besar adalah virus, virus dari AC yang lama tidak dibersihkan, menurut dokter. Dan ini harus segera diobati, bila tidak maka akan ada kemungkinan ia akan minum obat terus sepanjang hidupnya, akan lambat dalam menerima atau mencerna pelajaran sekolah, dan kemungkinan terburuk adalah meninggal dunia!!! 

Astagfirullaahh hal 'adziimm.. Dokter yang sangat jujur dan tanpa basa basi, langsung berbicara ke pokok masalah dan langsung menusuk jantung ku. Bersimpuhku pada-Mu dengan tetesan air mata yang turun perlahan, Ya Rabb. Ingin ku teriak, tapi tak bisa. Ingin ku hempaskan semua beban dan air mata, tapi tak kuasa. Begitu besar kepercayaan Mu pada kami, Ya Rabb, untuk memikul cobaan ini, untuk menempa kami dengan ujian ini. 😭😭

Tak kuat dengan kejujuran dokter tersebut, aku dan mas Ian memutuskan untuk mencari second opinion. Allah menuntun kami membawa mbak Riri berobat ke Singapore, menemui seorang dokter spesialias syaraf anak di suatu Rumah Sakit. Sepulang dari Singapore, Allah juga menuntun kami ke seorang dokter sangat senior, profesor spesialis syaraf, di daerah Kusuma Bangsa, Surabaya. Pengobatan dilakukan oleh profesor tersebut dan akan berlangsung selama 2 tahun, dibarengi dengan mengikuti terapi ke syaraf syaraf di tubuh mbak Riri yang alatnya dikembangkan sendiri oleh profesor tersebut. Setelah itu dosis obat obatan akan dikurangi, sampai habis, dan selesai lah masa pengobatan itu, dengan catatan sakitnya tidak boleh kambuh.

Tahun pertama, adalah tahun yang terberat, bagaimana aku harus memberi pengertian kepada mbak Riri tentang penyakitnya, bagaimana aku harus membujuknya untuk minum obat tepat waktu dan tidak boleh lupa sama sekali, bagaimana aku harus menjelaskan padanya tentang pantangan pantangan dokter yang harus dipatuhinya, bagaimana aku harus membujuknya untuk kontrol dokter dan mengikuti terapi setiap minggu, setiap 2 minggu, setiap bulan, setiap tiga bulan, sampai akhirnya selesai pengobatan, dan masih banyak bagaimana bagaimana lainnya. Termasuk bagaimana aku harus mengatur waktu dan kondisi mbak Riri ketika kontrol dokter agar ia tidak merasa bosan dan lelah, karena kontrol akan dimulai dengan EEG, konsultasi dokter, terapi sinar, dan menebus obat di apotik, dimulai jam 6 sore dan akan berakhir jam 1 dinihari baru sampai rumah, karena pasien profesor sangatlah banyak. Termasuk juga aku harus memintanya untuk makan yang cukup sebelum minum obat untuk menjaga perutnya karena obat yang diminumnya termasuk dosis tinggi, aku harus mengarahkan dan membimbingnya belajar sedikit demi sedikit agar bisa menguasai materi pelajaran sekolahnya, dan aku harus menjaganya dengan mengatur waktu istirahat dan asupan makanan sehatnya. Dan di sisi lain, aku pun harus menata hatiku sendiri untuk bisa menerima semua ujian ini dengan lapang dada, pasrah, dan keikhlasan yang tiada berbatas. Yang terpenting bahwa aku tidak boleh menampakkan kesedihanku, kegalauan hatiku, di hadapan mbak Riri. 

Dua tahun pertama kujalani proses ini sendiri, hanya berdua dengan mbak Riri, karena tidak berapa lama setelah vonis dokter, mas Ian dipindahtugaskan kembali ke Jakarta, 2 minggu sekali di kala weekend ia pulang ke Surabaya. Yup, hari hari tanpa suami, aku berusaha tetap kuat, tetap tegar, kuatasi segala masalah sendiri minimal setelah ada solusi baru aku ngomong, karena aku tidak mau menambah pikiran dan beban mas Ian. Tetapi jujur, aku juga manusia, di awal kesendirianku, terkadang aku tiba tiba terbangun kaget di malam hari kemudian berlari ke kamar mbak Riri, untuk melihat kondisi mbak Riri, dan kemudian tertidur di kamarnya. Bagaimana aku tiba tiba menangis tanpa sadar di malam hari, lelah sunyi sepi sendiri, dalam sujud dan doaku, terbawa perasaan sendiri, sedih, dan galau memikirkan bagaimana nasib mbak Riri ketika ia besar nanti dengan kondisi penyakitnya seperti itu. 😭😭



Ketika setahun pertama berlalu, pada akhirnya aku sudah (cukup) bisa menjalani hari hariku dengan keyakinan tinggi, bahwa aku sudah mulai bisa berdamai dengan hatiku, bahwa aku sudah mulai tersadar Allah pasti punya rencana maha dahsyat untuk kebaikan dan kebahagiaan kami; mbak Riri, aku, dan mas Ian. Pada kenyataannya, selama itu, tiada seorang pun yang mengerti tentang penyakit mbak Riri, selain aku, mas Ian, sepupuku yang tinggal bersamaku, dan si mbok di rumah. Aku memang sengaja menyembunyikannya, aku tidak mau orang orang akan memperlakukan mbak Riri seperti orang sakit bila mengerti tentang penyakitnya, tidak boleh ini itu, karena menurutku hal itu tidak akan menjadikannya menjadi pribadi yang tegar, ikhlas, dan kuat seperti sekarang. Aku sengaja memperlakukan mbak Riri sama seperti anak normal lainnya, ia boleh melakukan apa saja yang ia mau, mengikuti kegiatan apa saja yang ia suka, tentu saja dengan asupan makanan yang sehat, istirahat yang cukup, dan dibawah pengawasanku langsung. Aku baru akan memberitahukan kepada orang lain, guru sekolahnya, bahwa mbak Riri punya kewajiban untuk minum obat tepat waktu dengan makanan yang cukup, ketika ia diharuskan menginap dalam mengikuti acara sekolah. Namun, seperti kata pepatah, sepandai pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Diam ku tentang sakit mbak Riri akhirnya terbongkar juga. Orang tua dan adikku yang sering berkunjung ke Surabaya selalu bertanya tentang obat obatan yang harus diminum mbak Riri, tentang kewajiban kontrol dokter yang selalu rutin terjadwal. Walhasil, runtuhlah pertahananku, akhirnya aku harus menceritakan semuanya. Semenjak itu, 2 bulan sekali orang tuaku sesekali adikku, selalu berusaha menyempatkan diri berkunjung ke Surabaya, entah sekedar menemani dan mengawasi mbak Riri menjalani hari harinya, mengantarnya ketika kontrol dokter, atau sekedar memberi support kepadaku untuk tetap dan terus semangat serta optimis menatap masa depan. Hal itu terus berlangsung sampai aku dan mbak Riri pindah ke Jakarta mengikuti mas Ian, terkadang kami janjian bertemu di Surabaya, untuk sekedar menemani mbak Riri kontrol dokter.

Allah memang sangat sangat sangat baik, dibalik kesulitan pasti ada kebaikan kebaikan lain, kemudahan kemudahan lain, yang diberikan-Nya kepada kita. Beruntunglah, ketika kita mempunyai orang tua, saudara, dan keluarga yang datang kepada kita dan ada di dekat kita, tidak hanya di saat mereka berkeluh kesah dan sedang berada dalam susah dan sedih saja; Tetapi di saat kita berada di dalam susah dan sedih pun, mereka tetap peduli dan ada di dekat kita, menggandeng tangan dan merangkul kita memberi support, semangat, dan doa. 

Ketegaran mbak Riri, kelapangan dadanya, keikhlasannya, untuk berjuang melawan penyakitnya dan menerima segala kosekuensi atas sakit yang dideritanya, merupakan kemudahan lain yang diberikan Allah, hal ini juga yang membuat ku selalu (berusaha) kuat menjalani ujian ini. Sangat sangat tidak mudah baginya pasti, untuk menjalani semua proses pengobatannya itu sampai selesai. Bagaimana ia harus menyempatkan minum obatnya tepat waktu, tidak peduli sedang apa dan dimanapun ia berada; Bagaimana ia harus membawa stok obat kemana pun ia pergi, tidak boleh lupa; Bagaimana ia harus meminimalkan keengganannya untuk EEG setiap kali kontrol dokter; Bagaimana ia harus memaksa dirinya untuk minum obat yang jumlahnya banyak dan besar besar, mengesampingkan rasa mualnya; Bagaimana ia harus belajar lebih keras dari teman temannya, sedikit demi sedikit, diulang ulang, agar menguasai pelajaran sekolah; Bagaimana ia harus mematuhi aturanku untuk lebih mementingkan tidur di waktu waktu luangnya.

Sempat di tahun kedua pengobatannya sebongkah kerikil mengganjal, karena kesalahan satu apotik dalam meracik obat obatannya, ia harus mengulang pengobatannya dari awal lagi, sehingga harus memulai lagi untuk 2 tahun ke depan. Proses pengobatan dan terapi terus berlanjut, ditambah 2 tahun lagi untuk proses pengurangan dosis obat obatannya sampai akhirnya selesai. Di tahun terakhir proses pengobatan, mbak Riri dipegang oleh salah seorang dokter spesialis syaraf anak di RS Premier Bintaro dan RS Pondok Indah, Jakarta. 

April 2016, tepat di hari ulang tahunnya, mbak Riri dinyatakan oleh dokter bebas dari obat obatannya, ia tidak perlu minum obat lagi, pemirsah!!! Alhamdulillaaahhh... Puji dan sujud syukur yang tiada henti kehadirat Dia yang Maha Agung. Perjuangan berat dan panjang itu telah selesai, begitu banyak hikmah dan kebaikan kebaikan yang mbak Riri, aku, dan mas Ian dapatkan selama 6 tahun ini, dari-Nya, walaupun sejak awal vonis dokter sungguh sangat mengerikan bagi kami. Begitu banyak kemajuan yang dicapainya, termasuk mendobrak vonis dokter yang mengatakan bahwa ia akan menjadi lebih lambat dalam menerima pelajaran sekolah karena penyakitnya itu. Allah Maha Kuasa, selama 6 tahun ini, bahwa di kelas 2 mbak Riri pernah menjadi semifinalis olimpiade sains se Jawa Timur, di kelas 5 ia bisa menjadi runner up pada kejuaraan karate se Jabodetabek di salah satu nomor, di kelas 6 ia bisa mendapatkan nilai UN yang memuaskan, di kelas 7-9 ia bisa beberapa kali ikut olimpiade sains dan bahasa Inggris mewakili sekolahnya, di kelas 7 ia bisa lulus tes Cambridge Program dan berangkat ke Perth - Aussie saat kelas 8, di kelas 8 ia bisa menjadi salah satu pemenang di satu lomba modelling, di kelas 8-9 ia bisa menjadi penari inti di Cambridge Program sekolahnya, di kelas 9 ia bisa menjadi tim inti futsal sekolah. Terakhir, di tahun 2017, mbak Riri berhasil lulus tes untuk melanjutkan kelas 10-nya di salah satu International Boarding School di Malaysia. Dan sekarang ia tengah menikmati kebebasannya, di sela sela usaha kerasnya dalam belajar, menghadapi USBN dan UN SMP 2017.

Bahwa selalu ada bulan, bintang, dan matahari sesudahnya, dibalik malam yang pekat. Selalu ada pelangi sesudahnya, dibalik titik titik air yang turun dari langit. Selalu terbit terang, setelah gelap melanda. Yang dibutuhkan hanya keikhlasan, kepasrahan, optimis, doa, dan perbanyak rasa syukur serta amal kita dalam menghadapi kesulitan. Ketika Allah memberikan kepercayaan untuk menaikkan kelasmu, dengan memberikan ujian kepadamu, hadapilah, jangan pernah mengeluh, karena dunia belum berakhir, karena selalu ada seberkas harapan (sekecil apapun) untuk kembali bahagia dibalik ujian itu, dan karena Allah tidak pernah tidur.



Last, remember for servicing your ACs every 2-3 months, be a positive person, always keep smiling, and always keep fighting!!! Because Allah never sleeps..


My WorLD, ...My HeARt, ...My SouL © 2008 | Coded by Randomness | Illustration by Wai | Design by betterinpink!