5/10/2019

KEBAIKAN TIADA TARA


May 09th, 2019
11.55 WS

Malam ini, selarut ini, aku terdampar di Changi International Airport - Singapore, transit, berdua dengannya. Turun di Terminal 2, langsung menuju ke entah gate berapa, untuk transfer ke pesawat selanjutnya. Waktu ke penerbangan berikutnya adalah 2 jam. Tiket yang tertera di tangan tak tertulis gate berapa. Aku terpisah dengannya, sama sama berusaha mencari informasi gate berapa untuk nomor penerbangan kami berikutnya.

“Mbak, mau kemana?,” seorang ibu setengah baya menyapaku, ketika aku sedang membaca tiketku sambil merenung. “Tiket saya tidak ada nomor gatenya, saya harus bertanya kemana ya?”, tanyanya lagi. “Ah ibu, masalah kita sama ternyata,” batinku dalam hati sambil menyimpulkan senyum di bibir dan melihat tiket si ibu. Penerbangan kita berbeda, ibu ini menuju ke bumi belahan utara, aku menuju ke bumi belahan selatan. “Saya juga tidak ada nomor gatenya, ikut saya yuk, Bu,” ajakku padanya. Sang ibu mengikutiku berjalan menuju ke information center. Dari sisi depan sebelah kananku terlihat Mas Ian berjalan menuju ke arahku. Ia sudah mendapatkan informasi gate kami sepertinya, ia melambaikan tangannya padaku. Kubalas lambaian tangannya, memintanya datang. “Mas, tolongin dong. Ibu ini belum ada nomor gate untuk penerbangannya,” pintaku padanya. Selanjutnya aku mengajak sang ibu mengikuti Mas Ian (setelah membaca nomor penerbangannya), melangkah menuju ke papan informasi penerbangan yang ternyata ada di depan kami sisi sebelah kanan. Sang ibu mengucapkan terima kasih, menyalami kami berdua. “Sama sama, Ibu hati hati ya,” ucapku padanya. Dan kami pun berpisah, aku tersenyum, terlintas bahagia bisa membantu memecahkan masalahnya. Tetiba aja aku teringat Mama.

Mama dulu selalu berkata (mengingat sambil menahan haru): “Tidak ada salahnya kita selalu berusaha berbuat kebaikan untuk orang lain, sekecil apapun, tanpa pamrih, apalagi bila dilakukan di bulan suci Ramadhan. Kebaikan itu bisa dilakukan kapan pun, dimana pun, kepada siapa pun.” Mari berlomba berbuat kebaikan!!

Allah bless you, always…

MARHABAN YA RAMADHAN


May, 2019

Berawal dari ungkapan keinginan Mbak Riri sebulan yang lalu: “Bun, aku awal puasa di rumah, ya. Aku gak mau puasa makan makanan asrama. Aku mau makan masakan Bunda.” Honestly, speechless for a while. Terharu mendengarnya, dia benar benar mendambakan masakan ibunya. And at the end, ayahnya pun mengijinkan Mbak Riri pulang di awal puasa. 

Suatu saat nanti, ketika kita jauh dari rumah, seiring berputarnya waktu, kita akan semakin menyadari bahwa ayah bunda, dan rumah dengan segala perintilan perintilannya akan menjadi hal yang paling dirindukan. Terharu, sangat terharu dengan kepulangannya kali ini. Aku mengamati, selama di rumah, apapun yang dilakukan ayah bundanya, dia berusaha menghargai, berusaha menghormati dengan senyum. Padahal dulu bila sedikit saja ada hal yang tak sejalan dengannya, bibirnya langsung membentuk huruf O kecil yang meruncing di ujungnya. Gejala ini, aku lebih melihatnya sebagai wujud rasa syukurnya, rasa terima kasihnya atas segala apa yang telah diberikan-Nya hampir setahun ini. Tinggal jauh dari orang tua ada gunanya juga, Mbak Riri (sedikit demi sedikit) mulai bertransformasi menjadi pribadi yang lebih dewasa, mengingat umurnya pun sudah menyentuh bilangan 17, April kemarin. 

Sangat membahagiakan, ketika ia memintaku untuk memasak segala makanan kesukaannya. Aku pun dengan riang hati melakukannya, dan ia tak segan melahap semua makanan yang ku masak hingga ludes. Beberapa menu antri untuk dimasak setiap harinya, ah sampe segitunya ya. (Hahaaa..)

Hari pertama puasa, sebagaimana umat Muslim lainnya, kami  menyambutnya dengan suka cita, bulan yang penuh ampunan Allah. Ayah dan anak kali ini meminta menu sahur yang sama, satu menu berkuah favorit mereka berdua. Gak neko neko dan gak ribet juga sih, bakso bersama dengan pelengkapnya. Alhamdulillah, karena pada kenyataannya lidah mereka tak pernah bisa bertemu di satu panci. Biasanya aku harus memasakkan minimal 3-4 menu untuk menyelaraskan lidah mereka. Dan taukah kau, aku tak punya asisten rumah tangga, kebayang kan bagaimana prosesnya. Itulah sebabnya untuk urusan masak memasak, aku tak mau kompromi, harus sesimpel mungkin, agar aku enjoy melakukannya. Aku membutuhkan 3-4 tungku kompor dan alat alat canggih lain untuk memudahkan prosesnya.

Selesai sahur, sholat Shubuh berjama’ah di rumah. Topik utama obrolan hari itu hanya 1, menu buka puasa, apa dan dimana. Sang ayah mengusulkan untuk berbuka di luar, di restoran favorit kami. Sedangkan aku memilih untuk di rumah saja, aku ingin menikmati kebersamaan ini di rumah. Aku bersedia memasakkan apa aja, dan sang anak yang memilihkan menunya. Alhasil, buka puasa pertama terlaksana di rumah. Masing masing mempunyai tugas, dari tahap pembelian bahan bahan, dan selanjutnya pemrosesan semua bahan menjadi siap santap. Semua bahan diproses di rumah hingga akhirnya lengkap terhidang di meja makan. Mas Ian bertugas menyiapkan minuman segar pembuka, Mbak Riri menyiapkan makanan takjil, dan aku menyiapkan menu utama yang dimakan setelah sholat Magrib. Bahagia sekali rasanya hari itu, aku seakan merasakannya mengalir lembut dari ujung rambut hingga ujung kaki. Senyumku terus mengembang hari itu.

Alhamdulillah..
Allah bless us, always.
My WorLD, ...My HeARt, ...My SouL © 2008 | Coded by Randomness | Illustration by Wai | Design by betterinpink!