January 20th, 2021
Ini cerita tentang seorang anak kecil yang pernah di - bully, dulu semasa ia duduk di kelas 3 SD, sampai 2 tahun ke depan.
Anak kecil itu siapa, Mbak Riri? Yup..
How come?
Cerita dimulai saat Mbak Riri mengikuti kepindahan kerja
ayahnya ke ibukota. Balada anak pindahan dari daerah, dipandang sebelah mata
dan tak dianggap ada, oleh seorang teman perempuannya diikuti oleh anggota
gengnya. Aku awalnya tidak mengerti, sampai akhirnya suatu saat ia bercerita
sendiri padaku. Ada teman sekolahnya yang sinis padanya, seperti tak suka. Itu
terlontar dalam ucapan, sikap, dan tindakan. Suka “nyeletuk” sinis gak jelas,
meminjam barang tidak dikembalikan, dibatasi dalam bergaul dibuat tidak
mempunyai teman.
Pada akhirnya Mbak Riri merasa ruang geraknya terbatas, pun
untuk bersosialisasi dengan teman temannya yang lain terhalangi. Ia merasa
terganggu, merasa insecure karena itu. “Anak itu nyebelin
banget, Bun,” kata Mbak Riri. “Aku anak baru kan, males banget cari masalah di
sekolah, “ sambungnya lagi. Aku mencoba memberinya beberapa solusi. Selagi
temannya itu beraksi, kuminta ia membalas secara halus, setidaknya temannya
mengerti bahwa ia tak suka. Kalo gak mempan, ku minta ia
bertanya, apa kesalahannya dan minta maaf, walaupun mungkin ia gak salah. Kalo
gak mempan juga, ku sarankan ia memberitahukan wali kelasnya, minta
diselesaikan secara baik baik.
Saran saranku dilaksanakan Mbak Riri, saran pertama gagal,
yang kedua pun gagal, sedangkan yang ketiga ia tak mau melakukannya. “Aku gak
mau dibilang tukang ngadu,” ujarnya. Hahaaa.. Dibuli pun ia masih
punya hati, baik banget anak ini. Then, what’s next??
Suatu hari, Aku dan Mbak Riri mengobrol ringan, membahas
tentang temannya yang suka membuli itu. “Kalo dia gak berhenti membuli, Bunda
mau ke sekolah ketemu Bu Ani, minta diketemuin sama orang tuanya, dan kita bicarakan
baik baik tentang ini,” kataku. Menurutku temannya membuli mungkin karena
merasa paling hebat sehingga ketika datang orang baru, merasa harus
ditunjukkannya. Atau mungkin karena merasa ada saingan baru di kelas atau di
sekolah sehingga membuatnya harus menunjukkan kekuatannya.
Aku mencoba membangun kepercayaan Mbak Riri, perlahan, agar
perasaan insecure - nya itu tak berlanjut. Aku berkata
padanya, ada beberapa cara untuk “melawan”. “Apa itu, Bun?”, tanyanya. Aku
menjawab perlahan, “Dengan giat belajar, melakukan banyak kegiatan positif yang
Mbak Ri suka, dan berprestasi. Ayah Bunda akan mendukung 100%.” Aku
meyakinkannya, ketika banyak kegiatan dan berprestasi, sudah pasti kepercayaan
dirinya akan naik, ia pasti akan punya banyak teman, dan temannya yang membuli
akan sungkan padanya.
Then, you know what, pada suatu waktu aku dan Mbak
Riri ke sekolah untuk mengambil raport, kami bertemu dengan temannya yang suka
membuli itu. Mbak Riri membisikiku, “Itu lho, Bun. Si X, anak yang suka buli
aku.” Aku membatin, “Oh, okey. Ini toh anaknya, B aja deh kalo dibandingin sama
Mbak Riri.” Hahaaa.. Naluri seorang ibu ya, dari sisi manapun, anaknya
tetep the best lah.
Ketika raport sudah di tangan, aku dan Mbak Riri menuju ke parkiran, di tengah jalan Mbak Riri meninggalkanku ke toilet. Dan tetiba aja muncul
si X, tersangka pembuli itu. Spontan aku mendekatinya. “Hai X, aku Bundanya
Riri, temen sekelas kamu. Tante boleh ya minta nomer HP mamanya, nanti tolong
kasi ke Riri, ada yang tante mau bicarakan sama mamanya,” sapaku halus padanya.
Sekejap ia terpana, dan menjawab sambil meringis, “Eh, Iya, Tante.” Yes!!
Singkat, padat, dan jelas. Dan sejak itu ia tak membuli Mbak Riri lagi, ini
pasti berkat “The power of emak emak.” So, jangan pernah meremehkan emak emak ya
ketika ia sudah menunjukkan taringnya. Hahaha..
Waktu terus berjalan, ketika lulus SD, Mbak Riri tak mau melanjutkan di sekolah yang sama. She wanted to go out from the toxic environment. Ia ingin ada di lingkungan baru, dimana ia bisa bergaul, berkembang, dan lebih bisa meng-explore kemampuan dirinya untuk berprestasi.
And, This is her, My Riri. Alhamdulillah, ia sudah beranjak dewasa, dengan segala kegiatan positifnya, dengan segala prestasinya, ia menjalaninya dengan riang dan penuh percaya diri. Bertahun tahun ia membangun kepercayaan dirinya untuk bisa bangkit dari trauma karena dibuli, dengan dukungan penuh dari aku dan ayahnya.
I’m a mother who feels so proud of her. Aku sempat vakum bekerja beberapa kali, hanya untuk melihat dan memastikan bahwa Mbak Riri baik baik aja, dalam belajar dan bersosialisasi di sekolah maupun di luar sekolah; Saat kepindahan kami ke ibukota dan saat kelas 6 SD, persiapan Ia masuk SMP. Hikmah dari semua ini buatku adalah:
“Luangkan waktu kita sejenak untuk melihat, mengurus, dan
mendengar cerita anak anak, untuk mengetahui keseharian mereka, untuk
mengetahui tumbuh kembang mereka, sesibuk apapun kita. Mereka sangat
berharga, karena mereka adalah titipan Allah, jangan sampai menyesal di kemudian hari. Waktu yang berlalu, tidak
akan pernah kembali. Dan momen momen yang sangat berharga, tidak bisa terulang
lagi.”