Anak adalah karunia yang tiada bernilai dari Allah SWT. Setiap anak memiliki keunikan sendiri, memiliki minat dan bakat yang berbeda. Sama halnya seperti Riri, Anakku. Sejak usia 3 tahun, Riri sudah meminta untuk dimasukkan ke sekolah balet. Seperti layaknya anak-anak seusia Riri, keinginan untuk mengikuti suatu kegiatan mungkin lebih banyak dipengaruhi oleh faktor faktor dari luar dirinya. Teman temannya banyak mengikuti kegiatan tersebut atau kemungkinan lain adalah pengaruh iklan di TV. Aku cenderung menduga keinginan Riri untuk mengikuti sekoah balet lebih disebabkan karena seringnya ia melihat iklan susu di TV yang bertemakan balet. (Wajar wajar aja sih..) Setiap kali iklan susu itu ditayangkan di TV, Riri seperti terhipnotis melihatnya.
Keinginan Riri itu kemudian kuwujudkan, ia kumasukkan ke salah satu sekolah balet di Surabaya, dengan pikiran bahwa tidak berapa lama lagi ia akan bosan, sebagaimana layaknya anak anak seusia Riri lainnya. Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata dugaanku salah, she loves ballet dance very much, semakin lama balet seperti sudah menjadi darah baginya. Keinginan Ayahnya untuk menggantikan baletnya dengan kegiatan lain pun tidak digubrisnya (menurut Ayahnya balet itu tidak berkembang karena gerakannya hanya itu itu saja dari waktu ke waktu, setiap kenaikan tingkat kelas balet gerakannya tetap sama, tidak seperti jika kita mengikuti kursus tari atau musik. Kalau dipikir pikir memang benar juga ya.. Hehehe)
Riri menekuni balet sampai ia berusia 8 tahun. Kepindahan Ayahnya (tahun 2008) ke Jakarta sempat membuatnya kecewa, karena ia harus meninggalkan balet, guru, dan teman temannya di Surabaya. Bahkan ia sempat tidak mau mengikuti kepindahan Ayahnya ke jakarta. Aku membutuhkan waktu hampir 2 tahun untuk membujuknya pindah ke Jakarta. Mengajaknya liburan ke Jakarta pada setiap libur sekolah menjadi salah satu alternatif untuk membuatnya tertarik pindah ke Jakarta. Aku ingat sekali, alasan yang diberikannya pada saat latihan balet terakhirnya "Aku gak mau meninggalkan balet dan teman temanku". I had no words, begitu cintanya ia terhadap balet. Pada saat itu, Riri sempat merajuk. Mom Vonny guru baletnya, membesarkan hatinya bahwa sekolah balet di jakarta sangat banyak sambil diberi referensi sekolah balet mana yang harus dimasukinya. Setelah itu barulah ia mau tersenyum dan menuntaskan latihannya sore itu walaupun dengan 1/2 hati sambil memeluk Mom Vonny dan menangis. (Gak tega rasanya, kesian juga sih.. Hwuaaaa..)
Awal kepindahan ke Jakarta (Juni 2010), Riri sibuk dengan kegiatan belajarnya di sekolah, lebih kepada penyesuaian kurikulum Jakarta dengan Surabaya. Setahun penuh aku bertahan untuk berkata tidak kepada Riri ketika ia meminta untuk meneruskan kegiatan balet dan kegiatan lain yang dimintanya. Setahun pertama di Jakarta, Riri aku fokuskan untuk lebih keras belajar, untuk menyamakan apa yang sudah ia dapatkan di sekolah Surabaya dengan sekolahnya saat ini. Alhamdulillah, setahun pertama di sekolah barunya, ia lalui dengan hasil yang memuaskanku (tidak sia sia aku menjadi satpam-nya.. hehehe), sehingga di tahun kedua aku mulai mengijinkannya untuk mengikuti kegiatan yang ia sukai. Tentu saja hal pertama yang dipilihnya adalah balet, hanya saja Ayahnya tetap bertahan untuk tidak mengizinkannya. Riri frustasi sepertinya, akhirnya pencak silat dipilihnya sebagai pengganti balet (Oktober 2011), sesuatu hal yang bertolak belakang sekali dengan apa yang digelutinya selama ini (dari lembut menjadi sangar.. OMG!!). Aku melihatnya lebih sebagai bentuk protes kepada Ayahnya yang tidak mengijinkan untuk meneruskan sekolah baletnya. Gadis kecilku sudah pindah haluan, ia sudah ganti hati, walaupun pada akhirnya Riri juga memilih piano untuk mengisi sisa waktu luangnya di sela sela padatnya jadwal sekolah.
Riri berlatih pencak silat seminggu sekali setiap hari jum'at siang sepulangnya sekolah sebagai kegiatan ekstra kurikulernya. Dua bulan latihan, sabuk putihnya pun berganti menjadi sabuk kuning satu, empat bulan kemudian Riri menyodorkanku sebuah fomulir untuk mengikuti lomba pencak silat se Jabodetabek dalam rangka milad YPI Al Azhar (April 2012). Aku mengiyakannya sebagai bentuk dukunganku padanya (walaupun dengan sedikit perasaan cemas tentunya), Ayahnya pun mengizinkannya. Aku tidak menyangka, ternyata Riri menekuni pencak silat dengan serius, seserius ia menekuni baletnya dulu. Ia berlatih intensif, jam latihannya pun ditambah oleh pelatihnya. Ayahku, sampai sehari sebelum hari H sebenarnya tidak mengijinkan Riri mengikuti pertandingan itu, Riri adalah cucu kesayangannya, beliau begitu kuatir bila terjadi apa apa terhadap Riri.
Hari pertandingan pencak silat itupun tiba, hari pertama merupakan babak penyisihan untuk menentukan siapa saja yang berhak memasuki babak semifinal dan Riri berhasil lolos dengan mudah. Pada babak semifinal, lawan Riri adalah sang juara bertahan, padahal bagi Riri, ini adalah pertandingan perdananya. Aku sudah pasrah (untuk kalah.. Hehehe) kalaupun ia menang itu merupakan suatu mukjizat (hehehe..). Prediksiku benar, Riri tidak berhasil melaju ke babak final, lawannya terlalu tangguh untuknya, namun aku bangga padanya, ia masih berani bertarung, dengan segala macam tendangan dan pukulan yang ia lancarkan. (Aneh rasanya, aku sudah terbiasa melihatnya pentas balet atau tari, sekarang aku harus melihatnya bertanding pencak silat, harus melihatnya dipukul dan ditendang oleh orang, harus melihatnya terbanting di lantai akibat serangan yang dilancarkan oleh lawannya. Sepertinya dunia sudah kebalik nih.. Hehehe)
I'm so proud of you, Genduk cantik. Bagiku Riri tetap sebagai pemenang karena ia sudah bisa membuktikan kepada Ayahnya bahwa protesnya membuahkan sebuah kesungguhan dalam berlatih pencak silat, dan piala sebagai juara ketiga pun diraihnya. Segala sesuatu itu, bila ditekuni secara sungguh sungguh dan ikhlas, pasti akan membuahkan hasil yang sungguh sangat indah, kita tinggal menjalani dan menunggunya sampai saat itu tiba, karena Dia tidak pernah tidur.
( Republished from "My Notes" on Facebook: April 30, 2012)